Novel - Potret Hati (1) by PypyMomo
Aku membuka mata saat alarm ponselku berbunyi. Sekarang pukul 5 pagi dan aku harus segera bangkit serta keluar dari gelungan selimutku. Hari ini adalah salah satu hari bersejarah bagiku karena merupakan hari pertama aku secara resmi menjejakkan kaki di dunia kerja.
Aku mendapatkan pekerjaan setelah ditawari oleh kakak sahabatku yang mempunyai usaha wedding photography. Di sini aku akan bertugas di bagian administrasi. Dan dikarenakan aku adalah lulusan diploma manajemen, aku merasa pekerjaan ini akan sangat cocok denganku.
Aku, Indira dan biasa dipanggil Dira. Anak pertama dari dua bersaudara. Adikku masih bersekolah kelas 2 SMA yang mana aku merupakan almamaternya. Ayahku adalah seorang manajer di sebuah perusahaan distributor alat rumah tangga. Sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.
Saat ini di depan cermin yang menempel pada pintu lemari bajuku, kupatut dan tatap wajahku seusai mengoles tipis bedak dan lipstik peach di bibir. Lalu aku mengenakan jilbab yang kulipat salah satu ujungnya hingga membentuk segitiga. Setelah peniti tersemat untuk memperkokoh bingkaian jilbab, kuputar pundak kiriku agar bisa mengamati apakah bagian belakangnya yang berada di punggungku telah menjuntai dengan sempurna.
Aku memang bukan perempuan yang cantik dan molek. Tubuhku hanya setinggi 150 cm, namun aku berusaha agar terlihat segar dan menyenangkan bagi orang yang berinteraksi denganku. Apalagi di tempat kerjaku, nantinya aku berada di meja depan dan akan menemui calon klien untuk pertama kalinya. Ya, selain bertugas sebagai admin, aku juga bertugas sebagai resepsionis sekaligus customer service. Itu deskripsi pekerjaanku yang dijelaskan oleh mas Rei; kakak Intan sahabatku ketika aku menemuinya kemarin.
"Ra, sudah jam 7. Nanti kamu bisa terlambat," ujar bunda dari balik pintu kamarku.
"Iya, nda. Sudah selesai kok," balasku sambil bergegas mengambil tas yang telah kusiapkan di atas kasur dan segera keluar kamar.
Kulihat ayah sudah menunggu di ruang makan saat aku tiba di sana. "Ayo, Ra. Katanya mau bareng ayah berangkatnya."
"Iya, yah." Akupun berjalan ke arah kabinet sepatu yang berada tak jauh dari situ. Ruang makan di rumahku memang tergabung dengan ruang tengah sehingga aktivitas penghuni rumah banyak dilakukan di ruangan ini.
Dan dikarenakan aku belum sepenuhnya tahu letak kantor mas Rei, kali ini aku berangkat kerja dengan meminta tolong ayah agar mengantarku. Kemarin aku menemui mas Rei di rumah sahabatku yang masih satu kompleks dengan rumahku, bukan di kantornya.
Setengah jam kemudian aku dan ayah sudah berhenti di depan sebuah ruko dua lantai di daerah Ngagel Surabaya. Ada sebuah papan nama berukuran medium yang terpasang di atas terasnya bertuliskan "Capture Me".
"Ini ya, Ra?" tanya ayah memastikan.
"Sepertinya iya, yah. Kemarin kata mas Rei, namanya capture me," jawabku sambil melihat papan nama di depan.
"Ya sudah. Kamu nanti pulang bisa naik lyn?"
"Bisa, yah. Kan cuma satu jalur, nggak pakai pindah angkutan."
"Bagus. Sekarang ayah langsung kerja ya," ucap ayah sambil mengulurkan tangan yang kusambut dengan ciuman di punggung tangan beliau.
"Hati-hati di jalan ya, yah." Ayah mengangguk lalu melajukan sepeda motornya ke jalan raya.
Aku berbalik menuju pintu ruko yang terbuat dari kaca dengan cutting stiker memenuhi bidangnya. Tulisan wedding, prewedding, engagement, wedding book, photo & video documentation dan lain sebagainya menjadi tulisan yang didesain sedemikian rupa pada cutting stiker tersebut.
Sesaat kakiku berhenti di atas keset, kuucap bismillah dalam hati dan berharap semoga Allah memberiku kelancaran dalam bekerja hari ini. Perlahan kudorong pegangan pintu agar terbuka dan kulangkahkan kakiku melintasi pembatas ruangan itu.
"Assalamu'alaikum, mbak." Aku tersenyum saat kulihat mbak Riri; istri mas Rei sedang duduk di balik meja resepsionis sambil menulis sesuatu di atas kertas. Sekarang masih pukul 07.40 WIB hingga kantor ini masih terlihat sepi. Hanya ada mobil milik mas Rei dan satu sepeda motor yang terparkir di depan ruko saat aku melewatinya tadi.
"Wa'alaikum salam," jawab mbak Riri mendongak ke arahku yang masih berdiri di belakang pintu. "Masuk, Ra. Duduk dulu."
Aku kemudian duduk di atas sofa panjang yang tersandar di dinding sebelah kanan meja resepsionis. Aku mengitarkan arah pandangan ke sekeliling ruangan. Nampak beberapa foto pasangan, baik dengan dandanan resmi pengantin maupun baju casual yang menempel pada dinding di seberangku. Rupanya itu display photo yang sengaja dipajang untuk menarik calon klien. Aku terkagum dengan penataan dan bidikan sang fotografer. Memang mas Rei dan timnya patut diacungi jempol.
Dari tempat dudukku ini, aku melihat sebuah jalan masuk ke bagian belakang. Mungkin di situ letak tangga menuju lantai dua, dugaku.
"Ra, sini," panggil mbak Riri. Agaknya dia sudah selesai dengan aktivitas menulisnya.
Akupun menghampiri mbak Riri dan berdiri di sampingnya. "Mbak, nanti kerjaku di sini ya?"
"Iya, Ra. Nanti kamu yang nggantikan aku di sini karena sebentar lagi aku mau lahiran." Mbak Riri memang tengah hamil besar sekarang. Dia dan mas Rei merintis usaha wedding photography ini dari awal menikah dan saat ini telah memasuki tahun ketiga.
"Kamu ambil kursi itu dulu," tunjuk mbak Riri ke arah kursi di seberang mejanya.
"Iya, mbak."
"Sini aku jelaskan tugas-tugasmu," kata mbak Riri meminta aku duduk mendekat. "Tapi tenang Ra, selama beberapa hari ini kamu masih aku dampingi kok jadi nggak perlu kuatir. Nanti kamu lihat aja caraku kerja dan menghadapi klien ya."
Alhamdulillah. Aku bersyukur dalam hati. Ini adalah pekerjaan pertamaku jadi aku belum mempunyai pengalaman apapun. Semoga semua lancar dan aku betah berada di sini, harapku.
Satu per satu teman kerja yang baru kukenal hari ini datang memasuki ruko dari pintu depan. Beberapa orang bertugas di bagian editing foto dan video yang ruangannya berada di lantai dua. Sedangkan pegawai yang bertugas sebagai fotografer, videografer dan kru ternyata tidak masuk kerja setiap hari. Mereka akan datang saat ada job dan briefing sebelum acara.
Mas Rei menampak diri dari belakang tempat resepsionis dan menyapaku. "Eh, kamu sudah datang, Ra."
"Iya, mas," kataku sambil tersenyum kepadanya.
"Ma, sudah kamu jelaskan tugasnya Dira?" tanya mas Rei kepada mbak Riri.
"Sudah kok pa," jawab mbak Riri pada suaminya.
"Oke." Dan mas Rei pun beranjak naik ke lantai dua. Mungkin akan mengecek kerja pegawai yang lain di sana.
"Ra, ini berkas surat pesanan klien tolong kamu rekap ke jadwal job yang di sini ya," ucap mbak Riri sambil beranjak dari kursinya untuk berganti tempat denganku. Aku segera duduk menghadap komputer dengan sebuah file yang telah terbuka.
"Tulisan yang di sini dipindah ke sini ya mbak?" tanyaku memastikan sambil menunjuk kertas dalam ordner lalu menunjuk layar komputer.
"Iya, Ra. Misalkan ini," kata mbak Riri mengambil salah satu lembar surat pesanan klien dari ordner kemudian mencontohkannya padaku. "Tulis nama klien sama tanggal dan acara di kolom ini. Kalau sudah, nanti surat pesanannya kamu taruh dan batasi dengan pembatas ordner per klien ya. Biar file per klien bisa gampang dicari."
"Iya, mbak," sahutku.
"Oke. Lanjutkan sampai semua ini selesai ya," tunjuk mbak Riri ke arah beberapa lembar kertas yang terkumpul di dalam ordner bagian paling atas.
Akupun melanjutkan pekerjaanku hingga tak terasa jarum jam sudah menunjukkan arah vertikal. Waktunya istirahat.
"Ra, istirahat dulu. Kalau kamu mau cari makan di belakang ada warung nasi," kata mbak Riri memberitahuku. "Ada jajanan juga di sana."
"Iya, mbak."
Saat aku selesai menutup file di komputer, aku melihat beberapa orang turun dari lantai dua. Mereka mau istirahat juga rupanya.
"Hai, Ra. Mau bareng makan ke warung belakang?" tanya Silvi, satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai editor foto. Di sini pegawai editor ada 4. Dua orang di bagian edit foto dan dua orang di bagian edit video.
"Iya, Sil. Tunggu." Aku segera menutup ordner yang berada di pangkuanku dan meletakkannya di rak berkas.
Sekilas kulihat mbak Riri menuju ke belakang, ke ruangan yang terdapat sofa dan beberapa kursi. Itu adalah ruang serba guna tempat berkumpul para pegawai saat briefing. Kiranya dia akan makan siang bersama sang suami di sana. Kupikir, mbak Riri dan mas Rei tidak bisa leluasa istirahat di luar karena pada jam istirahat para pegawailah yang keluar mencari makan.
Setengah jam lebih beberapa menit aku menghabiskan waktu makan siang sembari mengobrol dengan Silvi. Dia mengatakan jika kantor akan terasa ramai jika para pegawai bagian dinas luar datang. Tidak seperti hari ini yang cenderung sepi karena para editor biasanya bekerja dalam diam, hanya musik dari speaker yang dipasang oleh mas Rei di tiap sudut lantai ruko saja yang mengiringi kerja kami.
Aku kembali duduk di atas kursi kerjaku setelah melaksanakan sholat dhuhur di ruang musholla yang berada satu area dengan ruang serba guna di belakang, tepatnya di sebelah toilet. Sungguh aku bersyukur bisa bekerja di sini karena mas Rei sang pemilik usaha tetap memperhatikan fasilitas ibadah para pegawainya.
Kufokuskan mata dan perhatianku pada komputer dan ordner. Aku melanjutkan kembali merekap jadwal job yang belum selesai kukerjakan tadi. Rupanya bisnis mas Rei berjalan lancar, terbukti jadwal permintaan foto dan video pernikahan dari klien hampir ada tiap hari. Tidak melulu sabtu dan minggu saja.
"Hei, kamu Indira kan?" Sebuah suara laki-laki mengagetkanku.
Aku mendongakkan kepala, memutuskan perhatian dari layar persegi empat di depanku. Di sana berdiri seseorang yang kukenal saat bersekolah dulu. Wajahnya masih tampan dan harum parfumnya pun masihlah sama. Perpaduan yang akan selalu membuatku nyaman jika berada di dekatnya. Dia kakak kelasku sekaligus lelaki yang kucintai secara diam-diam sejak lima tahun yang lalu. Mengapa dia kemari? Apakah dia akan menikah?