Novel - Potret Hati (2) by PypyMomo


Aku masih mematung menatap laki-laki yang berdiri di depan meja resepsionis yang kutempati. Kuperhatikan dia dalam diam takjubku. Dia masihlah tampan seperti dulu dengan tubuh yang lebih berisi, tidak lagi kerempeng. Hanya saja kulitnya lebih coklat satu atau dua tingkat dari yang kuingat lima tahun yang lalu. 

"Kak Rehan?" tanyaku tak percaya. 

"Iya. Kamu kenapa di sini? Kerja?" tanya dia balik. 

"Eh, Han. Kamu kenal sama Indira?" Mbak Riri tiba-tiba muncul dari ruangan belakang. 

Kulihat kak Rehan mengangguk. "Ya kenal lah, mbak. Kan Indira ini adik kelasku dulu pas SMA." 

Ah, hatiku sedikit menghangat karena orang yang kucinta masihlah mengingatku, meski hanya sebatas kata 'adik kelas'. Tapi tak apalah, aku sudah terbiasa seperti itu sedari kami bersekolah dulu. Dan tanpa sadar seulas senyum terbit di bibirku. 

"Ya sudah kalau gitu. Nanti kamu kerjanya jadi lebih enak, Ra karena sudah kenal," kata mbak Riri. "Rehan ini kerja sebagai fotografer di sini."

"Dan tugasmu nanti juga ngingetin photographer, videographer dan kru kalau ada jadwal job ya Ra," sambung mbak Riri lagi. 

Akupun mengangguk tanpa bersuara, hanya ada senyum yang masih tersisa. Aku tak menyangka bisa bertemu dengan kak Rehan kembali setelah lima tahun yang lalu dia lulus sekolah.

Kami hanya berteman selama satu tahun saja saat aku duduk di kelas 1 dan kak Rehan di kelas 3. Meski singkat, aku tak bisa melupakan masa-masa itu karena untuk pertama kalinya aku mengenal rasa cinta yang tak sanggup kuungkapkan dengan kata.  

"Mulai kapan kamu kerja di sini, In? Hari ini ya? Sebab Sabtu kemarin kamu belum ada." 

"Iya, kak. Baru hari ini masuk," jawabku. Kak Rehan masih memanggilku In, sama seperti saat kami berseragam putih abu-abu dulu. Hanya dia yang memanggilku begitu. In, bukan Ra. 

"Pantesan." Kak Rehan menjeda katanya sejenak. "Kamu gimana kabarnya sekarang? Sudah lama nggak ketemu ya." 

"Alhamdulillah baik, kak." Aku berkata sambil sesekali melihat ke arah lain. Tak sanggup rasanya menatap kak Rehan seperti dulu. Aku khawatir tak bisa lagi menahan cinta dan rindu. Ya, hingga kini aku masih menyimpan rasa itu, meski sudah bertahun lamanya. 

"Kamu yang gantiin mbak Riri di meja ini ya?" 

"Iya, kak." Aku hanya bisa menjawab saja, belum mampu untuk melontarkan pertanyaan meski banyak huruf yang menyusun kalimat tanya berputar di dalam kepalaku. 

"Seneng kalau bisa lagi seperti dulu ya, In," ucap kak Rehan ambigu. 

"Seperti dulu gimana, Han? Kalian dulu pacaran?" tanya mbak Riri. Aku tak menyadari jika mbak Riri masih berada di dekat kami karena fokus perhatianku hanya kepada kak Rehan sedari tadi. 

"Enggak, mbak. Cuma dulu kalau ada acara sekolah, Indi sering membantuku nge-set lighting. Kita kan sama-sama di OSIS." Kak Rehan menjelaskan jenis pertemanan kami kepada mbak Riri. Memang dia sedari dulu penggemar fotografi dan rupanya hal itu berlanjut hingga sekarang. Terbukti profesi pilihannya saat ini adalah fotografer. 

"Oooo... Aku kira kalian pacaran trus sekarang clbk," kata mbak Riri sambil tertawa. 

Andai saja seperti itu, mbak. Batinku berkata tanpa suara. Setidaknya aku pernah merasakan balasan cintanya dan hatiku ini pasti tak akan terlalu ingin mendobrak keluar. Namun selama ini harapanku tak pernah mewujudkan anganku, hingga gembok kotak hati terasa hampir terkoyak saat mendengar suaranya tadi. Dan ketahuilah mbak, sekarangpun aku masih berdiri dengan jantung tak beritme normal lagi. Hhhhh... 

Drrttt... Drrttt... 

"Eh Han, kamu disuruh mas Rei ke belakang nih," ucap mbak Riri sambil menunjukkan pesan di layar ponselnya pada kak Rehan. 

"Iya, mbak." Kak Rehan menyahut sebelum menoleh kembali padaku. "Nanti kita ngobrol lagi ya, In." 

Dia melangkah masuk ke ruang serba guna di belakang, sesudah memastikan aku mengangguk mengiyakan perkataannya tadi. 

Aku kembali mendudukkan diri di atas kursi belakangku dan berdoa semoga kondisi jantung dan hatiku saat ini tidak mengganggu konsentrasi. Masih ada beberapa lembar surat pesanan calon pengantin yang jadwal acaranya harus kurekap tanpa toleransi kesalahan sedikitpun. 

Sesekali kuhela nafas perlahan agar mbak Riri yang duduk di sebelah kananku tidak menyadari perubahanku ini. Aku harus menetralkan kembali hatiku dan berusaha nampak seperti 'hanya teman' bagi kak Rehan. Aku berjanji akan mencintainya dalam diam, sama seperti dulu tanpa seorang pun tahu. 

"Ra, kalau rekap jadwalnya sudah selesai kamu bisa istirahat sebelum jam pulang nanti. Besok kita lanjut rekap stok ya," kata mbak Riri yang duduk di kursi sebelahku. 

"Rekap stok, mbak? Barang jualan?" tanyaku keheranan. Memangnya di vendor foto seperti ini pakai jual barang juga? Bukannya jual jasa ya? 

Kulihat mbak Riri tersenyum maklum. "Bukan stok barang untuk dijual, Ra. Tapi inventaris alat dan perlengkapan yang dipakai buat job."

"Oooo..." 

"Iya, Ra. Contohnya flashdisk kan stoknya harus tersedia biar saat hasil foto dan video selesai dan hendak diserahkan ke klien, kita nggak bingung karena kehabisan stok. Trus kalau ada foto yang sudah diambil dari tempat cetak juga harus masuk stok dulu sebelum keluar diserahkan ke klien. Itu bertujuan agar kita tahu alur masuk dan keluarnya barang." Mbak Riri menjelaskan padaku secara lebih detail. 

"Juga peralatan dan kelengkapan lain mesti dicek sesuai laporan dari anak yang tugas luar, Ra. Itu untuk antisipasi kalau ada alat yang error agar bisa langsung di-service," lanjut mbak Riri lagi. 

"Iya, mbak," ujarku mengangguk. Ah, ternyata pekerjaanku banyak juga nantinya. Semoga aku bisa mengerjakan semua sesuai arahan dari mbak Riri. 

Dan tak terasa 30 menit lagi jam kerjaku berakhir saat aku menyentuh menu save pada program excel di komputer dengan mouse yang kugenggam. Ya, pekerjaan merekap jadwal job acara sudah selesai semua kulakukan. Lega rasanya. Tugas di hari pertama kerja bisa kulakukan dengan baik. 

Aku kemudian menutup ordner yang berisi surat pesanan klien dan meletakkan kembali ke dalam rak berkas. 

"Mbak, ini rekap jadwalnya sudah selesai. Terus aku harus apa lagi ya?" tanyaku kepada mbak Riri. 

"Kamu lihat jadwal terdekat, Ra. Itu hari apa ya?" 

"Sebentar, mbak." Aku lalu menatap kembali file excel yang masih terbuka. "Kamis jam 3 ada acara siraman, mbak." 

"Klien ordernya apa aja? Foto video?" 

"Iya, mbak. Foto dan video," jawabku. 

"Nah, kalau ada jadwal seperti itu kamu harus menghubungi anak yang tugas, Ra. Tapi sebelumnya kamu harus lapor dulu ke mas Rei," kata mbak Riri menjelaskan urutan kerjaku selanjutnya. 

"Tapi mas Rei sekarang sibuk sepertinya, mbak?" Aku bertanya ragu mengingat tadi mas Rei memanggil kak Rehan ke belakang. Kemungkinan mereka sedang sibuk. 

"Kamu lihat aja dulu. Kalau sibuk, nanti bisa kamu whatsapp aja jadwal seminggu ini. Tapi kalau mas Rei nggak sibuk, kamu bisa ngomong langsung biar nanti dia bisa kasi instruksinya ke kamu, Ra." 

"Oke, mbak." Lalu aku mengambil secarik kertas dan menulis salinan jadwal job agar bisa kulaporkan kepada mas Rei. 

Sekarang aku kembali berusaha meredam detak jantungku karena kutahu pasti akan berjumpa kembali dengan kak Rehan saat menemui mas Rei nanti. 

Saat aku masuk ke ruang serba guna di belakang, kulihat mas Rei dan kak Rehan sedang mengotak-atik sebuah kamera. Agaknya ada yang salah dengan alat itu. 

"Mas Rei," ucapku saat berada di dekat bosku yang kulihat sibuk saat ini. 

"Iya, Ra? Ada apa?" 

"Ini mas, aku disuruh mbak Riri lapor tentang jadwal job seminggu ini ke mas Rei." 

"Oh, ya. Apa aja?" tanya mas Rei sambil tangannya menyerahkan kamera yang dipegangnya tadi ke kak Rehan. Aku tak berani menatap lelaki yang kucintai secara diam-diam itu karena kondisi jantungku yang belum bisa kuredam. Aku hanya melihat ke arah mas Rei saja. 

Sekarang aku berusaha keras berbicara dengan nada senormal mungkin. "Kamis sore besok ada acara siraman dan malamnya midodareni, mas. Terus Jum'at pagi akadnya jam 7, siang acara temu manten. Dan resepsinya Sabtu malam." 

"Itu job yang dari WO ya?" tanya mas Rei memastikan. 

"Iya, mas. WO Kusuma." 

Kulihat mas Rei mengangguk kemudian menoleh ke arah kak Rehan yang berada di sampingnya. "Han, kamu cek alat lainnya juga ya. Besok biar aku yang beli memory card-nya lagi biar next job nggak keteteran." 

Oooo... Rupanya yang bermasalah adalah memory card yang ada di dalam kamera itu. Pantas saja dua orang di depanku ini terlihat sibuk mengotak-atik kamera tadi. 

"Iya, mas," sahut kak Rehan. 

"Nanti kalau ada alat lagi yang error atau butuh di-service kamu lapor ke aku sama mbak Riri ya Han," kata mas Rei menginstruksi. "Trus kamu, Ra. Nanti kamu data alat yang rusak atau perlu di-service. Minta petunjuk istriku kalau kamu nggak tahu caranya." 

"Baik, mas," sahutku. "Kalau sudah nggak ada yang perlu dilakukan lagi, boleh aku balik?" 

"Iya, balik aja." Mas Rehan mempersilahkan aku untuk kembali ke tempat kerjaku. 

"Oh ya, mas. Hampir lupa. Tadi kata mbak Riri kalau ada jadwal job seperti ini, aku harus hubungi anak yang tugas. Itu siapa aja ya, mas?" tanyaku pada mas Rei. Beruntung aku ingat arahan mbak Riri untuk tugas yang satu ini. Tak bisa kubayangkan jika aku melupakannya. Bisa-bisa job 'Capture Me' akan kacau karena kelalaianku memberitahu dan mengingatkan orang-orang yang seharusnya bertugas. 

"Oh ya. Emmm..." Kuperhatikan mas Rei seperti berpikir. Sepertinya sedang mengatur tim yang akan dia terjunkan untuk bertugas. "Besok pagi aja ingatkan aku lagi ya, Ra. Nanti aku kasi tahu siapa aja yang turun. Lagian sekarang kamu sudah mau pulang, kan? Sudah mau jam 4."

"Iya, mas. Kalau begitu aku balik dulu ke depan, ya." Lalu kubalikkan badanku, namun tak sengaja mataku melihat kak Rehan yang sedang duduk dan masih memegang kamera di tangannya. Dia menatapku. 

"Kamu sudah mau pulang, In?" tanya kak Rehan. 

"Iya, kak. Sebentar lagi." 

"Naik apa?" tanyanya lagi. 

"Naik lyn, kak." 

"Bareng aja kalau gitu sama aku. Kan kita searah." 

Ya Allah... Cobaan apa ini? Kakiku saja masih gemetar rasanya karena perjumpaan mendadak ini. Dan sekarang mau pulang bareng? Sanggupkah aku berdiri nantinya? 

"Eh, itu..." Aku bingung harus berkata apa. Mengiyakan ajakan kak Rehan berarti aku harus memerangi detak jantungku sendiri, tapi jika menolaknya berarti aku menampik keinginan untuk dekat lagi dengannya. 

"Kamu nggak mau naik sepeda motor?" tanya kak Rehan yang rupanya salah paham dengan sikap raguku. 

"Bukan gitu, kak. Tapi apa nggak ngerepoti?" 

"Nggak, lah. Kan rumah kita searah," kata kak Rehan meyakinkanku. 

"Ya sudah." Aku mengangguk pasrah dan kulihat ada kelegaan di raut wajahnya. Apa aku tidak salah? Atau itu hanya bayangan semu belaka yang muncul karena sebuah harap? Ah, mengapa aku belum bisa move on dari rasa cinta ini? Padahal tak pernah kulihat harapan akan balasannya dari kak Rehan. 

Jaket boomberpromo murah terbaik

Cerita Novel Potret Hati Bab 1 PypyMomo  Cerita Novel Potret Hati Bab 3





Populer

Cerpen - Hai, dek Dinda! (1) by PypyMomo

Novel - Potret Hati (1) by PypyMomo