Novel - Potret Hati (3) by PypyMomo

Aku bersiap dan telah merapikan meja kerjaku, saat kak Rehan menyembulkan kepalanya dari belakang tembok yang membatasi ruang kerjaku dengan ruang serba guna di belakang.
"Indi, tunggu sebentar ya. Aku beresin alat-alat dulu."
"Eh, iya kak," aku menoleh terkaget mendengar suara kak Rehan yang serasa begitu dekat.
Ternyata memang sudah garis takdirku sore ini untuk menunggu kak Rehan yang akan mengantarku pulang. Aku tak bisa menghindarinya. Sepertinya masa-masa sekolah dulu akan kembali terulang di sini. Kami berada dalam satu tempat kerja yang sama sekarang. Namun ada satu hal yang tak kuinginkan kembali, yaitu melihat Kak Rehan yang dikerumuni para perempuan cantik dan aku hanya bisa menatapnya dalam sendu. Tapi sayangnya, harapanku itu mungkin takkan terwujud karena fotografer identik dengan magnet wanita cantik. Hhhhh...
Setelah selesai berkemas, kulihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 15.50 WIB. Masih ada waktu 10 menit sebelum jam resmi pulang kerja. Aku memutuskan untuk melihat-lihat tempat kerjaku ini karena sedari pagi aku hanya berkutat di sekitar meja resepsionis saja.
"Mbak, aku mau ke atas buat lihat-lihat. Boleh?" tanyaku pada mbak Riri yang duduk bersantai di sofa tamu sambil membuka majalah khusus vendor acara pernikahan yang diterbitkan secara terbatas.
"Iya. Nggak pa-pa," sahut mbak Riri yang masih membolak-balik majalah yang berada di tangannya.
Aku berjalan ke belakang dan menaiki tangga yang berada di area ruang serba guna. Nampak kak Rehan sedang menata kamera dan lensa ke dalam lemari khusus; yaitu dry cabinet yang ditempatkan di dalam lemari besar bertuliskan 'Inventaris Alat'.
"Mau ke mana, In?" Suara kak Rehan menjeda langkahku.
"Mau ke atas, kak. Lihat-lihat," sahutku menoleh ke arahnya.
"Oooo..." Kak Rehan mengangguk dan kembali melakukan pekerjaannya yang belum selesai.
Di lantai atas, aku bertemu dengan pak Munir; seorang pria paruh baya yang bertugas sebagai pegawai serabutan di sini. Dia sedang menyapu lantai sambil sesekali membenahi ruangan.
Ternyata di lantai dua ini selain ruang editor, terdapat pula studio untuk foto. Ada beberapa kain background yang tergulung di atas, bertengger pada besi penggulung dan akan turun menjuntai jika diperlukan. Tiga buah lampu studio dengan softbox besar pun menggantung di depan area tersebut seakan telah siap sedia melaksanakan tugasnya kapanpun dia dibutuhkan.
Dan saat kupindai dinding kiri dan kanan ruang studio, di sana terdapat dua spot foto yang berbentuk tiga dimensi. Ada jendela kayu dummy menempel di salah satu dindingnya, juga sepeda kuno nampak terparkir di sisi satunya. Properti lainnya; seperti meja, kursi antik dan berbagai pernik untuk foto pun nampak tertata di sana.
Aku berjalan menuju ruang editor yang dibatasi oleh kaca bening hingga aktivitas orang di dalamnya tidak terganggu jika ada sesi pemotretan di dalam studio. Aku maklum akan hal ini karena para editor pastilah butuh konsentrasi agar hasil kerja mereka sesuai dengan konsep yang diinginkan sang klien.
Srrrttt... Pintu kaca sedikit mengeluarkan suara kala aku membukanya. Tiga dari empat orang di ruangan itu menoleh ke arahku dan akupun tersenyum.
Aku menghampiri salah satu dari mereka. "Belum selesai, Sil?"
"Sudah, Ra. Ini tinggal nge-save aja," balas Silvi.
Aku memang sudah akrab dengannya setelah tadi siang kami makan bersama di saat jam istirahat. Di sini hanya kami berdua pegawai yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan dengan tiga orang lainnya; Johan, Malik dan Rishad, aku belum terlalu akrab. Di kantor ini hanya Johan yang non muslim, tapi itu tidak masalah karena kulihat semua orang bisa berbaur tanpa memandang perbedaan.
"Kamu kalau pulang dijemput sama suamimu?" Aku bertanya pada Silvi yang memang sudah menikah meski usianya sepantar denganku.
"Enggak. Kalau pulang aku naik lyn, Ra. Suamiku pulang kerjanya sering molor. Apalagi kalau harus jalan keluar Surabaya, pasti sampai rumah lepas maghrib. Dia kan sales," kata Silvi menjelaskan.
"Kamu sendiri pulangnya dijemput sama ayahmu kayak tadi pagi?" sambung Silvi bertanya padaku.
"Nanti aku bareng kak Rehan. Dia ngajak bareng tadi."
"Hah? Mas Rehan? Fotografer di sini?" tanya Silvi heran.
"Iya. Tadi dia ngajak pulang bareng karena rumah kami searah," jelasku.
"Tumben mas Rehan mau bareng cewek. Biasanya ogah kalau ada yang deketin dia kayak Mia kapan lalu." Silvi masih berkata dengan keheranan. "Tapi memangnya kamu sudah kenal dengan mas Rehan, Ra?"
"Sudah. Dia kan kakak kelasku SMA dulu, Sil."
"Oooo... Tapi memang dari dulu kalian sudah akrab ya?" tanya Silvi masih menginterogasiku.
"Nggak akrab bener sih. Cuma kalau ada acara sekolah, aku biasa bantu kak Rehan pas dia bertugas sebagai sie dokumentasi."
"Iya. Indira sering bantu aku dulu. Kenapa kamu kepo, Sil?" Suara Kak Rehan tiba-tiba terdengar di belakangku. Rupanya dia menyusulku naik ke lantai dua.
Mendadak tubuhku menegang karena ketahuan membicarakan dia di belakangnya.
"Hehehe... Cuma penasaran aja, mas. Selama kenal kamu, kan kelihatan kalau kamu jaga jarak dari perempuan."
"Jaga jarak? Kayak truk aja, Sil." Kak Rehan memutus omongan Silvi.
"Lha iya, kamu kan gak mau gandengan sama perempuan. Apalagi kalau perempuan itu agresif," sahut Silvi ngotot karena kalimatnya dipotong oleh Kak Rehan.
"Eh, tapi sepertinya sama Dira nggak gitu ya?" tanya Silvi dengan nada jahilnya. Dan itu sontak membuat tubuhku semakin membatu. Sangat kaku. Aku mendadak berharap cemas pada jawaban kak Rehan, meski aku sudah bisa menduga bahwa dia akan berkata jika dia sudah menganggapku sebagai adik atau teman atau seputar itu.
"Kan lain, Sil. Aku sudah nyaman dari dulu kalau sama Indi."
Deg. Apa maksudnya? Kok ucapan ambigu lagi yang keluar dari mulut kak Rehan.
"Lagipula Indi ini nggak agresif seperti perempuan yang sok cantik itu. Jadi semua orang yang sudah mengenal dia, pasti akan nyaman berteman sama Indi," lanjut kak Rehan.
Ah, ternyata nyaman sebagai teman. Apa aku tadi terlalu ge er ya? Perasaanku tiba-tiba saja mengerut tak urung berkembang.
Tapi perkataan Silvi tadi terlanjur melekat dalam benakku. Satu, kak Rehan sekarang tidak suka didekati perempuan padahal dulu teman perempuannya banyak. Dua, ada seseorang bernama Mia yang pernah mendekatinya dan jika Silvi tahu, berarti perempuan itu pernah datang ke kantor ini. Perempuan yang nekat menurutku karena mengejar laki-laki hingga ke tempat kerjanya.
"Bener kan, In?" Suara kak Rehan mengembalikan kesadaranku.
"Eh, iya. Iya, kak." Mengapa bicaraku tergagap? Aku merutuki kedekatan posisiku dengan kak Rehan saat ini. Harum parfum kak Rehan yang tercium indera membuat efek pada tubuhku. Aku menjadi kaku dan bergerak layaknya robot. Aku tak tahu untuk apa mengangguk dan mengiyakan. Seakan diriku tak sadar akibat memori di otakku yang kosong dan syaraf yang tak sinkron.
Error and blank.
"Sudah. Yuk, pulang," ajak kak Rehan padaku.
"Iya, kak." Aku membalikkan badanku mengikuti kak Rehan yang hendak keluar dari ruang editor ini.
"Tumben." Kulihat mas Johan menepuk punggung kak Rehan.
"Bener kata Silvi, kamu tumben sekarang mau sama perempuan. Dulunya kan enggak, padahal yang kamu foto cantik-cantik. Aku pikir kamu belok," samar kudengar gurauan mas Johan pada kak Rehan yang berjalan di depanku.
"Asem!" Kak Rehan meninju pelan lengan mas Johan saat menuruni tangga. Dan keduanya kembali terbahak.
"Mbak, aku pulang dulu ya." Aku pamit kepada mbak Riri setelah mengambil tas yang kuletakkan di atas kursi kerjaku.
"Ra, sini dulu," panggil mbak Riri dari balik majalah wedding yang dipegangnya.
"Kamu beneran pulang bareng Rehan?" tanya mbak Riri setelah aku berada di dekatnya. "Tadi aku sama mas Rei sempat kaget sewaktu Rehan bilang kalau mau pulang cepat. Biasanya dia pulang habis maghrib, apalagi kalau sudah ngomong tentang alat dan teknik foto sama mas Rei pasti lama. Tapi ini dia pulang sore karena bareng kamu. Aneh. Tumben-tumbenan itu anak."
Hah? Benarkah ini suatu keanehan? Apakah benar kak Rehan sudah tidak lagi dekat dengan perempuan seperti dulu? Padahal seingatku sewaktu SMA, dia akrab dengan banyak teman perempuan. Apalagi perempuan yang menjadi obyek fotonya. Jadi wajar menurutku jika dia sekarang memberiku tumpangan pulang. Iya, kan?
Dan masih lekat dalam ingatanku juga, jika teman-teman perempuan di sekitar kak Rehan itu rata-rata berwajah cantik, bertubuh tinggi dan langsing. Hanya aku satu-satunya yang tidak masuk dalam kategori tersebut. Ya, aku sering merasa minder dengan kondisiku jika berdekatan dengan kak Rehan dan para manusia cantik bak angsa yang berjalan anggun saat aku dahulu membantunya di acara sekolah.
Di kala aku menyadari jika aku telah jatuh cinta dengan kak Rehan, aku memilih mundur. Aku sadar siapa diriku dibandingkan dengan para perempuan yang mengelilinginya itu. Aku tak sanggup mempermalukan diriku dengan mengucap cinta di hadapan kak Rehan. Aku memilih memandangnya saja tanpa berniat menggapainya.
"Tapi benar ya kalian nggak ada hubungan apa-apa?" Pertanyaan mbak Riri yang memastikan kembali hubunganku dengan kak Rehan memutus lamunanku.
"Iya, mbak. Kan tadi siang sudah dengar sendiri. Aku dulu biasa bantu jadi kru-nya kak Rehan kalau ada kegiatan sekolah," jawabku meyakinkan.
"Oke oke. Tapi kalau ada apa-apa juga nggak pa-pa kok," balas mbak Riri jahil. "Selama Rehan kerja di sini, nggak pernah kelihatan kalau punya pacar. Malah bulan kemarin ada yang ke sini nekat nyari dia karena nggak pernah digubris."
Oh, Tuhan... Bisakah ini menjadi pertanda jika aku bisa menumbuhsuburkan rasa cinta di hati untuk kak Rehan? Benarkah ada harapan untukku tanpa celah patah hati nantinya? Boleh kah ya Allah? Boleh, kah? Aku ragu. Rasa rendah diri menguasaiku kembali secepat keinginanku untuk mencintanya. Kepercayaan diriku beringsut. Mengerut.
"Mbak, masih lama ngomong sama Indira? Sudah lewat jam kerjanya, lho." Suara kak Rehan dari arah pintu depan terdengar.
"Iya, iya. Sudah, Han. Kamu kok seperti bodyguard-nya Dira aja," sahut mbak Riri.
"Kan memang sudah lewat jam pulang, mbak. Kasihan kalau Indira kemalaman."
"Ini masih sore, Han. Masih jam 4 lebih sedikit, nggak mungkin Indira kemalaman sampai rumahnya. Apalagi kan kamu antar naik sepeda motor, pasti cepet. Atau..."
"Atau apa, mbak?" tanya kak Rehan karena mbak Riri tak meneruskan kalimatnya.
"Atau kamu mau ajak dia keliling dulu sebelum pulang?" ujar mbak Riri kembali jahil.
"Memangnya kamu mau jalan-jalan dulu, In?" tanya kak Rehan padaku.
Eh? Jalan-jalan? Dengan kak Rehan? Aku belum sepercaya diri itu untuk jalan menghabiskan waktu sore bersama kak Rehan. Sekarang saja aku tak tahu apakah nanti jantungku baik-baik saja saat duduk di jok belakang sepeda motor.
"Ah, enggak kak. Kuatir bunda nyari," kataku beralasan.
"Ya sudah. Kalau gitu yuk pulang sekarang," ajak kak Rehan.
"Aku pulang dulu ya mbak," pamitku lagi.
"Iya Ra," jawab mbak Riri yang kemudian menoleh kepada kak Rehan. "Hati-hati bawa anak orang ya, Han. Jangan digores."
Mbak Riri tertawa jahil setelah mengucap pesan tadi.
Ah, mengapa soreku menjadi seperti ini? Godaan jahil dari teman kerja membuatku semakin salah tingkah di depan kak Rehan.


