Novel - Potret Hati (4) by PypyMomo

Cerita Novel Potret Hati bab 4 Pypy Momo

Sembari melangkahkan kaki ke arah pintu, aku berusaha meredam detak jantung setelah mendengar godaan jahil bertubi-tubi dari mbak Riri dan Silvi. 
"Gak usah dipedulikan omongan mbak Riri itu," kata kak Rehan menenangkanku saat aku berada di dekatnya. 

Ya Allah... Apakah memang jelas terlihat jika aku salah tingkah dan canggung? Kak Rehan mungkin tak enak rasa dengan godaan jahil itu karena memang kami hanyalah sebatas teman dan adik kelas saja. 

Aku menggerakkan kepalaku naik turun tanpa suara, masih fokus meredakan dentuman di dada. Siapa yang menyangka jika aku akan bertemu dengan Kak Rehan secara tiba-tiba? 

Oh Tuhan... Kuatkanlah hatiku agar tak jatuh kembali pada pesonanya. Aku tak sanggup jika harus patah hati. Itu akan sangat menyakitkan. Begitulah kata orang dan aku mempercayainya. 

Namun lagi-lagi harapanku sepertinya tak akan terwujud karena pesona Kak Rehan sudah menguasaiku sejak awal pertemuan tadi. 

"Pakai ini, In." Kak Rehan mengangsurkan helm ke arahku saat kami berada di samping sepeda motor matic-nya yang terparkir di depan ruko. 

"Terima kasih, kak." Aku menerima helm itu dengan ragu. 

"Itu helm ibuku. Tadi sewaktu aku berangkat, ibuku minta sekalian diantar ke supermarket juga," jelas kak Rehan. Dia sepertinya mengetahui keraguanku. "Ayo ah, naik." 

Dan lagi-lagi aku kembali meragu bimbang setelah melihat ke arah jok sepeda motor. Aku harus duduk dengan posisi bagaimana? Dengan posisi miring seperti dulu saat masih mengenakan rok sekolah ataukah menghadap ke depan? Karena sekarang aku memakai celana panjang. 

Aku diam mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika posisi menghadap ke depan, itu berarti tatapan mataku akan jatuh tepat di belakang lehernya. Oh, tidak. Itu akan membuatku mati kutu dan kaku hanya karena pesona kulit lehernya yang bahkan tertutup oleh krah jaket. 

Ya Allah... Mengapa hatiku menjadi seperti ini? Jatuh cinta kembali pada Kak Rehan seperti dulu. Dan ini terjadi dalam waktu yang singkat, bahkan pertemuan kami masihlah dalam hitungan jam. 

"Kenapa? Nggak mau naik sepeda motor?" Kak Rehan kembali mengulang pertanyaannya yang tadi. 

"Enggak, kak. Ini mau naik, kok." Aku berdoa berharap semoga jantung dan anganku takkan buyar ke mana-mana. 

Perlahan aku menaiki boncengan dengan hati-hati. Aku memutuskan duduk menghadap depan. Namun kupastikan, tanganku takkan mendekat dan menyentuh kak Rehan sedikitpun. Kedua tanganku berpegangan pada handle di sisi kanan dan kiri sepeda motor saja. Ya, aku benar-benar memastikan takkan bersentuhan dengan Kak Rehan, agar sel tubuh dan urat syarafku tak berserak akibat sengatan yang kemungkinan besar timbul karenanya. 

Bismillahirrohmaanirrohiim. Aku mengucap basmalah sembari menutup mata saat motor mulai melaju. Ya, berkali-kali sudah kusebut nama-Nya agar sudi membantuku meredam semua letupan rasa di dada. Allah... Mohon bantulah hamba-Mu ini. 

"Kenapa, In?" Kak Rehan menatapku dari kaca spion. 

"Nggak pa-pa, kak. Cuma kena angin tadi," sahutku menghindar. 

"Tutup aja kaca helmnya." Kak Rehan berkata dengan setengah berteriak karena derum knalpot kendaraan yang melintas di sebelah meredam suaranya. 

"Iya," anggukku. 
Silicon Case HP couple gambar lucu

"Ini seperti deja vu ya, In. Aku ngantar kamu pulang seperti waktu sekolah dulu." 

Mau tidak mau, pernyataan Kak Rehan membuatku tersenyum dan membenarkannya. Ini memang seperti mengulang kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana aku sering kali duduk di jok belakang Kak Rehan. Di atas sepeda motor yang sama, kami berkendara berdua. Namun kala itu kami masihlah remaja, dan sekarang kami telah menapaki fase awal dewasa. 

Kulirik spion di sisi kiri Kak Rehan. Sekilas dia tersenyum dan kembali menatap jalanan di depan. Ingin rasanya kuberharap waktu akan berhenti di sini. Tepat saat ini. Ya, aku ingin lebih lama menikmati suasana penuh kenangan bersama Kak Rehan, lelaki yang kucintai dalam diam semenjak lima tahun yang silam. 

Sekarang kami berdua kembali menikmati laju sepeda motor. Tak ada seorang pun yang berbicara karena kami terlalu asyik mengenang masa lalu bersama. 

Tapi benarkah kami berdua yang mengenang masa lalu? Aku dan Kak Rehan? Ataukah hanya aku saja? Aku menyangsikannya dalam hati. 

Ah, biarlah. Jika pun salah, tak apalah. Yang pasti aku sekarang asyik memindai pemandangan di depanku. Ya, pemandangan punggung laki-laki yang sama, yang mengantarku pulang sewaktu dulu masih sekolah. 

Kami berdua melaju dalam diam hingga sepeda motor berada di persimpangan jalan menuju rumahku. 

"In, rumahmu masih yang dulu, kan?" tanya kak Rehan dari balik kaca helmnya. 

"Iya, kak. Masih yang dulu. Cuma sekarang catnya ganti krem, bukan hijau lagi." Kulihat kepala kak Rehan mengangguk. 

Lima menit kemudian, sepeda motor kak Rehan sudah berhenti tepat di depan pagar rumahku. 

"Yang ini, kan?" tanya kak Rehan memastikan dia tidak salah rumah tujuan. 

"Iya, kak." Aku kemudian turun dari jok sepeda motor dan melepas helm. 

Saat kuulurkan tanganku yang masih memegang helm ke arah Kak Rehan, kudengar suara bunda memanggilku dari teras. "Ra, itu temannya suruh duduk dulu." 

Hah? Kak Rehan disuruh mampir gitu? Duh, bunda kok ada-ada saja. Apa karena aku sudah tak pernah lagi diantar laki-laki pulang ke rumah setelah bertahun-tahun lamanya ya? Seingatku memang Kak Rehan-lah orang terakhir yang mengantarku pulang seusai pentas seni di sekolah dulu. Dan sekarang Kak Rehan pula yang mengantarku pulang setelah lima tahun berlalu. 

"Mau mampir dulu, kak?" tawarku pada Kak Rehan yang menyambut uluran helm dariku. 

"Boleh." Jawaban singkat Kak Rehan membuatku kaget. Dulu jika memberiku tumpangan pulang, Kak Rehan hanya menurunkanku di depan pagar saja seperti saat ini. Tak pernah sekalipun dia mampir atau main ke rumah. Tapi mengapa sekarang dia dengan suka cita dan tersenyum mau menuruti perkataan bunda? 

"Eemmm..." 

"Kenapa? Katanya disuruh mampir?" tanya kak Rehan setelah melihat gundah dan ragu di riak wajahku. 

"Eh, i-iya kak," kataku tergagap. "Silahkan masuk, kak." 

Kami berdua pun berjalan melewati pintu pagar. Dan saat berada di teras, aku mempersilahkan kak Rehan untuk duduk di kursi. Namun Kak Rehan bergeming. Di salah satu kursi paling ujung, ada bunda yang menatap lekat Kak Rehan hingga membuatnya kikuk. 

"Assalamu'alaikum. Sore, tante," sapa Kak Rehan dengan sedikit membungkukkan badannya ke arah bunda. 

"Wa'alaikum salam. Duduk dulu, nak." Bunda membalas salam dengan masih memperhatikan Kak Rehan. "Namanya siapa?" 

"Rehan, tante." Kak Rehan masih terlihat kikuk menghadapi bunda. 

"Silakan duduk di sebelah sini, kak." Aku mempersilakannya lagi untuk duduk di kursi sebelah kananku, sehingga aku berada di tengah-tengah antara tempat duduk bunda dan Kak Rehan. 

Gamis Kaos Adem Nyaman dan Keren

"Emmm... Kamu itu yang dulu sering ngantar Dira pulang ya?" tanya bunda kepada Kak Rehan. Sepertinya beliau telah mengingat siapa Kak Rehan ini. 

"Dulu waktu SMA, tante. Saya ngantar pulang Indi kalau selesai kegiatan di sekolah," jelas Kak Rehan. 

"Iya, iya, iya. Tante ingat." Bunda mengangguk-anggukkan kepala. "Kamu juga anaknya Bu Dewi dan Pak Surya, kan?" 

"Iya, tante. Benar," jawab Kak Rehan. 

"Kok Bunda tahu?" tanyaku penasaran. 

"Bu Dewi itu teman sekolah bunda dulu. Kemarin bunda lihat nak Rehan ini pas jemput ibunya pulang arisan."

"Oooo... Arisan hari minggu kemarin?" tanyaku memastikan. 

"Iya. Arisan yang diadakan teman-teman sekolahnya bunda kemarin, Ra." 

Oooo... Aku mengangguk mengerti. 

"Nak Rehan ini kok bisa pulang bareng Dira? Memangnya tempat kerjanya dekat?" tanya bunda kembali pada Kak Rehan. Aku heran mengapa begitu banyak pertanyaan yang keluar dari mulut bunda sore ini? Tumben. Apa memang karena baru kali ini aku terlihat mempunyai teman laki-laki kembali? Karena selama kuliah, akupun membatasi pergaulanku. 

"Kak Rehan ini fotografer di tempat mas Rei, Nda. Jadi satu kantor sama Dira," sahutku menjelaskan karena kulihat Kak Rehan kembali salah tingkah dengan cecaran pertanyaan dari bunda. 

"Oooo..." sahut bunda mahfum. "Sudah lama kerja di sana, nak?" 

"Satu tahunan, tante. Sejak lulus kuliah." 

Aku membiarkan bunda bercakap-cakap dengan Kak Rehan tanpa kusela karena akupun ingin mengetahui kabar dia selepas lulus sekolah SMA dahulu. 

"Nak Rehan dulu kuliahnya di mana?" Kudengar bunda bertanya kembali pada Kak Rehan. 

"Saya kuliah jurusan fotografi di Jogja." 

Pantas saja. Kak Rehan kuliah bukan di Surabaya, cetusku dalam hati. Setelah lulus sekolah, Kak Rehan seperti hilang ditelan bumi. Tak kudengar lagi kabar beritanya. Bahkan saat ada acara reuni akbar di sekolah pun, Kak Rehan tak nampak hadir di sana. Mungkin dia terlalu sibuk dengan kegiatan kuliahnya di Jogja sana. 

"Tante masuk dulu ya nak Rehan. Nanti kalau pulang dan ketemu ibumu di rumah, bilang ada salam dari Tante Lani."

"Baik, tante." Kak Rehan mengangguk sopan. 

"Kamu gimana kabarnya selama ini, In?" tanya Kak Rehan setelah melihat bunda masuk ke dalam rumah. 

"Baik, kak. Alhamdulillah." 

Eh, bukankah dia telah menanyakan hal ini saat pertama kali kami bertemu tadi siang ya? Mengapa diulang lagi? Apakah Kak Rehan juga sama gugupnya seperti diriku? Tapi sepertinya tidak mungkin. 

"Kamu ambil kuliah jurusan apa?" 

"D3 manajemen, kak," jawabku singkat sambil sesekali mengalihkan pandangan ke tempat lain. Aku merasa belum bisa benar-benar berbincang secara wajar dengan Kak Rehan. Apalagi sekarang di teras ini hanya ada kami berdua, aku masih gugup. 

"Trus bisa kerja di Mas Rei, ceritanya gimana? Kamu ngelamar kerja di sana, In?" Pertanyaan Kak Rehan menarik kembali perhatianku padanya. 

"Enggak, kak. Kemarin aku main ke rumah Intan; temanku. Trus ketemu mas Rei dan ditawari kerja." 

"Intan adiknya mas Rei?" 

"Iya, kak. Dia temanku waktu kuliah."

"Berarti nggak pakai kirim lamaran kerja ya?" 

"Enggak, kak." Sekali lagi aku memberi jawaban singkat pada Kak Rehan. 

Kulihat Kak Rehan memperhatikanku dan kami terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. 

"In, boleh tanya?" Ada keraguan di mata Kak Rehan sebelum dia melempar pertanyaan itu. 

"Iya, kak. Ada apa?" 

"Emmm..." Kak Rehan menjeda perkataannya. "Kenapa kamu nggak mau terlibat di sie dokumentasi acara sekolah lagi setelah pentas seni?" 

Oh, mengapa pertanyaan ini yang dilontarkan oleh Kak Rehan? Ini adalah satu-satunya kalimat yang kuhindari jika bertemu dengannya. Belum sanggup aku untuk memberikan alasan pastinya, karena aku tak tahu bagaimana respon Kak Rehan nanti. 

Aku menundukkan kepalaku dan memilin jari jemariku. Aku bingung harus menjawab apa. 

"Nggak pa-pa, kak. Habis pentas seni kan ujian jadi aku harus belajar." Akhirnya alasan itu yang keluar dari bibirku. 

"Nggak ada yang lain?" 

"Maksud Kakak?" tanyaku balik. 

"Maksudku, nggak ada alasan lain selain kamu harus belajar?" tanya Kak Rehan yang sangsi akan kebenaran alasanku. 

Aku menggeleng. "Aku memang harus fokus belajar waktu itu, kak." 

"Mmmm..." Hanya itu yang keluar dari mulut Kak Rehan. Rupanya dia tidak begitu puas dengan jawabanku, namun tidak mendesak menuntut jawaban. 

"In, aku pulang dulu ya. Ini sudah mau maghrib," pamit Kak Rehan. Kulihat memang jarum jam di tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 17.20 WIB. 

"Iya, kak." 

"Besok pagi mau berangkat bareng? Aku juga ada perlu ke kantor." 

Hah? Kak Rehan mengajakku berangkat kerja bareng? Bersepeda motor berdua lagi? Oh, Tuhan... Bagaimana ini? 

Sepatu Kulit Pria Import Korea

Novel Potret Hati bab 3 karya PypyMomo  




Populer

Cerpen - Hai, dek Dinda! (1) by PypyMomo

Novel - Potret Hati (1) by PypyMomo