Novel - Potret Hati (5) by PypyMomo
Aku tahu bahwa nantinya aku akan selalu berkaitan dengan Kak Rehan saat reminding job, namun aku tak menyangka akan secepat ini mengetahui nomor kontaknya. Dan secepat ini pula berhubungan dengannya.
Dulu kupikir, aku takkan pernah lagi bertemu dengan Kak Rehan selepas dia lulus sekolah. Apalagi sampai berhubungan intens seperti ini.
Ya Allah... Sekarang aku harus bagaimana? Renunganku masih menemui kebuntuan. Hati dan otakku tak lagi sejalan.
Sang hati menginginkanku untuk berdekatan dengan Kak Rehan dan memenuhi harapan untuk bisa mencintainya lagi. Namun sang otak selalu mendesakku agar menghindarinya dan terus mengingatkanku akan kejadian 5 tahun yang silam.
Ya, kejadian di mana hatiku menjadi taruhannya. Hati yang mengharap akan cinta, namun ragu jika yang ditemui hanyalah kecewa. Karena dari dulu, aku yakin takkan sanggup menahan luka.
Sekarang di depan bayang mataku, nampak gambar bak film yang diputar oleh ingatan otakku. Kejadiannya 5 tahun yang lalu. Saat itu matahari belum benar-benar terik di atas kepala kala aku pamit untuk pergi ke toilet karena hajat yang tak lagi bisa kutunda. Kak Rehan dan para anggota sie dokumentasi lainnya tengah melaksanakan tugas di depan panggung acara pentas seni.
Ya, kala itu aku memang bersama Kak Rehan dan beberapa teman lainnya bertugas sebagai sie dokumentasi pada acara pentas seni sekolah.
Sambutan para petinggi sekolah dan ketua panitia baru saja usai. Sekarang saatnya pertunjukan bakat seni oleh perwakilan masing-masing kelas. Dan kemungkinan sesi ini akan berlangsung hingga sore nanti karena pertunjukan ini sekaligus menjadi ajang lomba antar kelas.
Saat aku tengah berada di dalam bilik toilet, aku mendengar beberapa orang masuk dan bercakap-cakap. Suara air yang terkucur dari kran wastafel mengiringi perbincangan mereka.
"Car, gimana perkembangan hubunganmu dengan Rehan?" Salah satu suara menginterupsi keasyikanku membenahi ikat pinggang. Aku menegakkan tubuh dan berusaha berkonsentrasi mendengarkan perbincangan para perempuan di luar sana. Nama Kak Rehan yang disebut oleh mereka, telah menarik perhatianku.
"Ya makin dekat, lah." ujar seseorang yang suaranya kukenali sebagai kakak kelas yang berprofesi menjadi seorang model di kota Surabaya ini. Namanya Cara. Nama yang tidak umum menurutku, namun justru itulah yang membuatnya menjadi perempuan yang lekat diingatan banyak orang. Begitupun dengan dukungan wajah cantiknya hingga dia benar-benar menjadi salah satu perempuan idola di sekolah ini.
"Kemarin dia mengantarku pergi ke studio pemotretan," kata Cara dengan nada bangga.
"Kok bisa?" sahut suara yang lain.
"Aku mengajaknya dan dia mau. Simple," ucap Cara lagi.
"Apa mungkin Rehan beneran suka sama kamu ya?"
"I hope so." Aku mendengar nada ceria pada suara Cara.
"He eh. Mana mungkin ada yang bisa menolak pesona seorang Cara. Iya, kan?" tanggap suara yang lain menyahuti.
"Namanya juga Cara." Seseorang membenarkan ucapan temannya. "Bagaimanapun alasan dan caranya, tak seorangpun bisa menolak seorang Cara. Termasuk Rehan."
Hahahahaha... Kudengar semua orang di luar bilikku terbahak.
Meski aku tak melihat orang-orang itu, namun aku bisa membayangkan bagaimana keceriaan melingkupi mereka. Dan seorang perempuan diantaranya pastilah sangat berbunga.
Aku kemudian tercenung menghayati percakapan mereka. Cara; sang model menyukai Kak Rehan? Dan kemungkinan Kak Rehan membalas perasaannya pula. Benar begitu? Karena menurut penuturan Cara tadi, Kak Rehan telah bersedia mengantarkannya ke tempat pemotretan. Hal yang tak mungkin dilakukan oleh Kak Rehan jika tidak benar-benar dekat atau menyukai seseorang.
Kak Rehan memang mempunyai banyak teman perempuan dan mereka rata-rata berwajah cantik. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai model. Namun menurutku, Kak Rehan selalu bersikap layaknya seorang fotografer profesional. Tak pernah kulihat dia berdekatan secara personal pada para model itu. Namun aku meragu setelah mendengar pengakuan Cara tadi.
Siapakah aku? Tanya batinku. Bukankah aku tidak bergaul setiap hari dengan Kak Rehan? Bahkan kami berada dalam lingkup pergaulan yang berbeda dan tingkat kelas yang tak sama. Aku hanya berjumpa dan berhubungan dengan Kak Rehan saat ada acara sekolah saja. Jadi kemungkinan dia dekat dengan salah satu model di luar acara sekolah adalah hal yang lumrah.
Dan sepanjang pengetahuanku, Kak Rehan yang gemar fotografi juga tergabung dalam beberapa komunitas fotografer. Hal inilah yang membuatnya kenal dan akrab dengan para model itu. Pun menjadikannya senior dalam ekstra kurikuler fotografi di sekolah kami.
Jadi apakah pengakuan Cara ini pertanda bahwa aku harus mematikan rasa cintaku pada Kak Rehan? Padahal cinta ini baru saja tumbuh bersemi dalam hati. Namun bagaimana aku bisa bersaing dengan seorang Cara? Seseorang yang berbanding terbalik dengan diriku.
Aku ingat bagaimana penampilan Cara. Betapa cantiknya dia. Memang kuakui jika perempuan itu sangatlah cantik dan bertubuh tinggi serta langsing. Nampak garis kontur kebulean di wajahnya meski hanya dilihat dalam sekilas pandang.
Dan pada acara pentas seni ini, Cara adalah salah satu model yang akan melenggak lenggok di atas panggung sebagai perwakilan dari kelas Kak Rehan. Ya, mereka berteman. Mereka berdua belajar di kelas yang sama.
Kebersamaan mereka di lingkup kelas dan pergaulan profesi tak urung membuatku memikirkan kembali akan perasaanku pada Kak Rehan.
Apakah aku akan sanggup bersaing dengan Cara dan para model lainnya dalam merebut perhatian serta cinta Kak Rehan? Apakah Kak Rehan akan bisa benar-benar melihatku sebagai seorang perempuan jika di depan pandangan matanya bertaburan kilau para model? Karena selama ini Kak Rehan hanya menganggapku sebagai anggota tim dan kru-nya saja.
Dan masih menurut logika otakku yang terus memaksaku untuk melihat kenyataan agar aku tersadar tentang kondisi ini. Apakah aku akan bisa bertahan tanpa sedikit pun kecemburuan seandainya Kak Rehan membalas cinta dan menjadi kekasihku? Padahal di luar sana, para berlian berwujud manusia cantik berseliweran mengelilinginya.
Apakah aku sanggup mempertahankan Kak Rehan dalam rengkuh jangkauku jika sang pujaan hati sering berdekatan dengan banyak perempuan yang berada di lingkaran hidupnya? Para perempuan yang kecantikannya bak bumi dan langit jika dibandingkan dengan diriku.
Aku kembali termenung tanpa bersuara. Kasak kusuk Cara dan teman-temannya masih terdengar di luar bilik toiletku. Aku tak berani menimbulkan suara sedikitpun karena kuatir akan menimbulkan kecurigaan mereka.
"Jadi kamu sekarang akan terus mendekati Rehan, Car?" Pertanyaan seseorang menarik kembali perhatianku pada perbincangan mereka.
"Ya iyalah. Cara gitu loh," ucap Cara menyanggupi. "Aku pantang mundur sebelum mendapatkan Rehan."
"Eh, tapi sepertinya anak kelas satu yang biasa jadi sie dokumentasi itu juga suka sama Rehan deh." Suara perempuan yang lain membuatku menegang. Aku fokus mendengar tanggapan yang akan terlontar. Apakah ada yang menyadari jika aku juga suka dan telah jatuh hati pada Kak Rehan? Semoga saja tidak. Itu harapku.
"Anak kelas satu yang mana? Yang cewek itu?"
"Iya... Sie dokumentasi yang cewek kan cuma dia. Namanya Indira kalau nggak salah."
Oh tidak. Harapanku sepertinya tak terkabul. Sekarang namaku muncul dalam percakapan mereka. Ada seseorang yang menyadari tentang perasaanku. Tapi bukankah aku sudah berusaha menyembunyikannya? Aku berusaha bersikap biasa saja dengan Kak Rehan seperti halnya dengan teman-teman sie dokumentasi yang lain.
"Kalau itu mah gampang. Iya, kan Car?" tanggap suara yang lain bertanya pada Cara.
"Iya. Nggak level kalau Cara harus saingan dengan dia," sahut yang lain pula. Rupanya ada tiga atau empat orang yang berbincang di luar sana. "Anak itu nggak ada yang bisa diandalkan buat dibandingkan dengan Cara. Lihat aja penampilannya. Wajahnya biasa. Badannya juga nggak oke."
"Betul. Kamu nggak perlu kuatir kalau harus saingan sama dia seandainya itu anak beneran suka sama Rehan juga." Suara yang lain kembali menimpali.
"Siapa yang kuatir? Siapa yang minder? Nggak ada kata itu di kamus Cara, ya..." ucap Cara mencibir. "Harusnya si Indira itu yang takut bersaing denganku.
Ya. Kau benar, Car. Dan tanpa kau ingatkan pun, aku sudah sadar kok jika kata kuatir dan minder ternyata sudah berada dan tertoreh jelas dalam kamusku. Batinku membenarkan ucapan Cara.
"Eh, yuk keluar. Sebentar lagi waktunya kita tampil." Kudengar suara Cara menginterupsi kegiatan rumpian mereka.
"Iya, nih. Udah lama sepertinya kita di sini," sahut salah seorang temannya. "Udah fix semua kan, makeup-nya?"
Oooo... Rupanya para perumpi di luar sana adalah siswi yang akan tampil di sesi unjuk bakat. Teman-teman Cara memang kebanyakan mempunyai bakat di bidang seni, terutama modeling.
"Yuk, ah." Satu suara diikuti langkah kaki menjauh dari luar pintu bilikku.
Sejenak hening menyelimuti ruangan toilet ini. Tak ada suara apapun setelah Cara dan teman-temannya keluar. Hingga kuputuskan untuk segera menyudahi aktivitasku di sini.
Setelah memastikan tak seorang pun berada dalam ruang toilet, akupun keluar dari bilik. Beruntung aku telah membersihkan diri sebelum rombongan Cara dan kawan-kawannya masuk tadi, sehingga bersembunyi di dalam bilik toilet tidak terlalu menjadi masalah bagiku.
Dari bilik toilet, aku menuju ke arah wastafel yang menempel tepat pada dinding di sebelah kiri pintu bilik. Aku mencuci tangan dalam kucuran air bersih sambil menatap wajahku dalam cermin di depan. Hidung pesek dan pipi cubby terlihat di sana. Hanya mata bulat dengan bulu lentik saja yang bisa memberi sinar. Itupun karena ayah yang sering berkata demikian. Namun sepertinya sekarang sinar itu akan meredup. Ya, percakapan beberapa perempuan tadi menjadi penyebabnya.
Ahh... Beginikah nasib orang yang tak berwajah cantik? Persaingan akan cinta sudah mengandaskan tekad akan perjuangan untuk mencinta. Apakah aku harus benar-benar mundur dari arena cinta Kak Rehan? Bahkan saat ini aku belumlah sempat berjuang. Terlalu banyak halangan dan pantangan yang nampak di depan. Banyak batu berlian yang akan menjadi sandungan, terutama batu berlian dalam bentuk seorang Cara. Ya, sandungan yang penuh kilau itu menciptakan pantangan bagiku untuk mencinta.
Ya Tuhan... Mengapa nasib cintaku seperti ini? Cinta pertama yang harus layu sebelum berkembang. Bahkan aku harus segera menguburkannya. Namun bagaimanakah caranya? Bukankah sebelum menguburkan, aku harus mematikannya terlebih dahulu? Tapi bagaimana caranya, Tuhan? Karena kekuatan hati menolak sodoran logika dari otakku.
Kuhela nafasku perlahan. Sangat perlahan. Aku berusaha meredam gejolak hatiku dan menuruti saran otakku. Aku memutuskan untuk mundur dan melihat Kak Rehan dari jauh. Aku akan menjadikan acara pentas seni ini sebagai kenangan terakhir akan kedekatan kami. Aku akan menjauh dan tidak akan sekalipun terlibat kembali dengan kepanitiaan acara sekolah selama Kak Rehan masihlah di sini. Aku akan berusaha melupakan Kak Rehan dan cintaku. Meski aku tak yakin akan bisa melakukannya.
Selamat tinggal Kak Rehan... Selamat tinggal cinta pertamaku... Selamat tinggal cinta dalam diamku. Kau akan selalu ada dalam kenanganku.


